Jombang – Datangnya masa panen raya pada tertengahan bulan Maret diperkirakan akan berdampak pada turunnya harga gabah. Penurunan harga gabah disebabkan berlimpahnya stok gabah yang tidak diimbangi dengan jumlah permintaan.
Untuk menyelamatkan petani dari kerugian, pemerintah menetapkan kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar 10%. Pemerintah menetapkan kenaikan harga gabah kering panen (GKP) Rp 2.640 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp 3.300 per kilogram, serta beras Rp 5.060 per kilogram. Ketetapan tersebut berlaku mulai Januari 2010.
Namun, meski HPP naik, sejumlah petani mengaku resah. Buruknya tata niaga pertanian serta lemahnya perlindungan pemerintah membuat sejumlah petani tidak yakin gabah mereka bakal dibeli sesuai ketentuan HPP.
Menurut Suwarno, Petani asal Dusun Sarirejo, Desa Trawasan, Kecamatan Sumobito, pengalaman selama beberapa tahun terakhir ini membuktikan, saat panen raya petani seringkali mengalami kerugian karena rendahnya harga gabah. HPP yang ditetapkan pemerintah setiap tahunnya tidak mampu melindungi petani karena kuatnya permainan harga.
Menurut Suwarno, meski HPP dinaikkan pemerintah, namun kenaikannya tidak cukup menguntungkan petani. “Toh, kalaupun HPP diketahui, tetapi biasanya dipakai alasan gabah yang ada tidak memenuhi spesifikasi mutu yang ditetapkan (HPP). Jadi ya lagi-lagi petani harus mengalah dan Bulog sebagai lembaga yang mestinya melindungi petani,” ujar Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sarirejo ini.
Meski demikian, Suwarno mengaku masih memiliki rasa optimis jika masalah anjloknya harga gabah bisa diatasi petani. “Salah satunya cara yang bisa dilakukan adalah membuat rancangan pasar tersendiri sehingga tidak lagi bergantung pada tengkulak,” katanya, Kamis (4/3). Suwarno mengatakan, hal itu mungkin diwujudkan asalkan petani mau berkonsolidasi bersama dan memperkuat kelompok tani masing-masing.
Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU (LP2NU) Jombang, Muhammad Subhan mengatakan, disamping faktor cuaca yang mempengaruhi kualitas hasil panen, kerugian yang dialami petani saat penan raya merupakan akumulasi dari buruknya mekanisme tata niaga.
“Harus diakui bahwa ini adalah akibat buruknya tata niaga pertanian. Petani tidak bisa disalahkan hanya karena alasan cuaca,” ujarnya. Dia berharap, kelompok tani yang sudah terbentuk di masing-masing desa bisa memperkuat organisasinya agar bisa berperan saat panen raya.
Selain itu, Dinas Pertanian diharapkan bisa lebih intens melakukan pembinaan pada kelompok-kelompok tani. “Bagaimana upaya mendorong kemandirian petani, bagaimana mendorong kebersamaan petani, bagaimana melakukan penyadaran di petani itu hampir tidak ada,” kritik Subhan.
“Dinas pertanian seharusnya tidak hanya mendorong munculnya kelompok tani, namun juga membina mereka agar lebih berdaya. Apalagi, Dinas itu juga dilengkapi dengan perangkat penyuluh pertanian,” lanjut Subhan.
Subhan menambahkan, pembentukan Lembaga Pembelian Gabah (LPG) saat ini patut dievaluasi pemerintah. Pasalnya, sejak diberlakukan 4 tahun lalu, keberadaan lembaga tersebut hingga kini tidak membawa dampak positif bagi kesejahteraan petani.
“Dengan fasilitas anggaran yang mencapai miliaran rupiah, semestinya kinerja LPG ini juga mendapatkan pengawasan. Apakah selama ini mereka (LPG) melakukan kerja-kerja pengamanan harga sebagaimana diamanatkan?” kritiknya lugas. (Ms/Mtb)
Thursday, 4 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment