Thursday 31 December 2009

TANGGAL BULAN HARI PENTING

JANUARI
1 Januari Tahun Baru Masehi
1 Januari Hari Perdamaian Sedunia
3 Januari HUT Departemen Agama
5 Januari HUT Kopr Wanita Angkatan Laut (KOWAL)
5 Januari HUT Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
10 Januari Hari Lingkungan Hidup Indonesia
10 Januari HUT Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
15 Januari Hari Peristiwa Laut dan Samudera
20 Januari Tahun Baru Hijriyah (1428)
25 Januari Hari Gizi Sedunia
25 Januari Hari Kusta Internasional
31 Januari HUT Nadhatul Ulama (NU)
FEBRUARI
2 Februari Hari Lahan Basah Sedunia
3 Februari Hari Lahan Basah Sedunia
4 Februari Hari Kanker Sedunia
5 Februari HUT Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
5 Februari Hari Peristiwa Kapal Tujuh
9 Februari Hari Pers Nasional (9 Februari 1946)
9 Februari Hari Kavaleri
13 Februari Hari Persatuan Farmasi Indonesia
14 Februari HUT Peringatan Pembela Tanah Air (PETA)
14 Februari Hari Valentine
18 Februari Tahun Baru Imlek (2558)
22 Februari HUT Istiqlal
28 Februari Hari Gizi Nasional Indonesia
MARET
1 Maret Hari Kehakiman Indonesia
6 Maret Hari Peristiwa Serangan Umum Di Yogyakarta
6 Maret HUT Kostrad
8 Maret Hari Wanita Internasional
9 Maret Hari Musik Nasional
10 Maret HUT Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI)
11 Maret Hari Peringatan Surat Perintah 11 Maret (SUPERSEMAR)
17 Maret Hari Raya Nyepi
18 Maret Hari Arsitektur Indonesia
20 Maret Hari Hutan Sedunia
22 Maret Hari Air Sedunia
23 Maret Hari Lahir Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
23 Maret Hari Meteorologi Sedunia
24 Maret Hari Peringatan Bandung Lautan Api
30 Maret Hari Film Indonesia
31 Maret Maulid Nabi Muhammad SAW
APRIL
1 April Hari Bank Dunia
6 April Hari Nelayan Indonesia
6 April Wafat Yesus Kristus
7 April Hari Kesehatan Internasional
9 April HUT Penerbangan Nasional
9 April HUT TNI Angkatan Udara
9 April HUT Suaka Indonesia (9 April 2006)
16 April HUT KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus)
18 April Hari Peringatan Konferensi Asia Afrika
19 April HUT HANSIP
21 April Hari Kartini
22 April Hari Bumi (22 April 1970)
24 April Hari Angkutan Nasional
24 April Hari Solidarita Asia-Afrika
27 April HUT Lembaga Permasyarakatan Indonesia (LP)
MEI
1 Mei Hari Buruh Sedunia
1 Mei Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat
2 Mei Hari Pendidikan Nasional
3 Mei Hari Surya
3 Mei Hari Pers Sedunia (3 April 1993)
4 Mei Hari Bangkit Pelajar Islam Indonesia
5 Mei Hari Lembaga Sosial Desa (LSD)
8 Mei Hari Palang Merah Internasional
11 Mei HUT POM TNI
17 Mei Hari Buku Nasional
17 Mei Kenaikan Yesus Kristus
19 Mei HUT Koprs Cacat Veteran Indonesia
20 Mei HUT Persatuan Wartawan Indonesia/PWI (20 Mei 1975)
20 Mei Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei Hari Peringatan Reformasi
26 Mei Hari Pendidikan Nasional
29 Mei Hari Lanjut Usia (LANSIA)
31 Mei Hari Tanpa Tembakau Sedunia
JUNI
1 Juni Hari Raya Waisak
1 Juni Hari Lahir Pancasila
1 Juni Hari Anak-anak Sedunia
3 Juni Hari Pasar & Modal Indonesia
5 Juni Hari Lingkungan Hidup Sedunia
8 Juni HUT Serikat Penerbit Surat Kabar (8 Juni 1946)
17 Juni Hari Dermaga
21 Juni Hari Krida Pertanian
21 Juni Hari Musik Sedunia
22 Juni HUT Kota Jakarta
24 Juni Hari Bidan Indonesia
25 Juni Hari Persahabatan Sedunia
26 Juni Hari Anti Narkoba Sedunia
29 Juni Hari Keluarga Berencana Nasional
JULI
1 Juli HUT Bahyangkara
1 Juli Hari Anak-anak Indonesia
5 Juli Hari Bank Indonesia
9 Juli Hari Satelit Palapa
12 Juli Hari Koperasi Indonesia
22 Juli Hari Kejaksaan
23 Juli Hari Anak Nasional
23 Juli HUT Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
29 Juli HUT Bhakti TNI Angkatan Udara
AGUSTUS
3 Agustus Hari Ultah Ane gan!!
5 Agustus HUT Dharma Wanita Indonesia
7 Agustus HUT Aliansi Jurnalis Independen (7 Agustus 1994)
8 Agustus HUT ASEAN
10 Agustus HUT Veteran Nasional
11 Agustus Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAWt
13 Agustus Hari Peringatan Pangkalan Brandan Lautan Api
14 Agustus Hari Pramuka
17 Agustus Hari Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945)
18 Agustus Hari Konstitusi Republik Indonesia
19 Agustus Hari Departemen Luar Negeri Indonesia
21 Agustus Hari Maritim Indonesia
24 Agustus HUT Televisi Republik Indonesia (TVRI)
30 Agustus Hari Orang Hilang Sedunia
SEPTEMBER
1 September Hari Polisi Wanita (POLWAN)
3 September Hari Palang Merah Indonesia
4 September Hari Pelanggan Nasional
8 September Hari Aksara
8 September HUT Pamong Praja
9 September HUT Partai Demokrat
9 September Hari Olahraga Nasional
11 September HUT Radio Republik Indonesia (ORARI)
17 September Hari Perhubungan Indonesia
21-22 September Hari Raya Idul Fitri
24 September Hari Tani Nasional
26 September Hari Statistik
27 September Hari Pos Telekomunikasi Telegraf (PPT)
28 September Hari Kereta Api
28 September Hari Jantung Sedunia
29 September Hari Bencana Internasional
29 September Hari Sarjana Indonesia
30 September Hari Pemberontakan G30S-PKI
OKTOBER
1 Oktober Hari Kesaktian Pancasila
2 Oktober Hati Batik
5 Oktober HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI)
9 Oktober Hari Surat Menyurat Internasional
10 Oktober Hari Kesehatan Jiwa
14 Oktober Hari Pangan Sedunia
15 Oktober Hari Hak Asasi Binatang
16 Oktober Hari Parlemen Indonesia
20 Oktober HUT Partai Golongan Karya (GOLKAR)
24 Oktober Hari Dokter Indonesia
24 Oktober Hari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
27 Oktober Hari Penerbangan Nasional
28 Oktober Hari Peringatan Sumpah Pemuda
29 Oktober HUT KORPRI
30 Oktober Hari Keuangan
NOVEMBER
3 November Hari Kerohanian
10 November Hari Pahlawan
12 November Hari Kesehatan Nasional
14 November HUT Brigade Mobil (BRIMOB)
14 November Hari Diabetes Sedunia
21 November Hari Pohon
22 November Hari Perhubungan Darat
25 November Hari Guru Nasional
DESEMBER
1 Desember Hari AIDS Sedunia
1 Desember Hari Artileri
2 Desember Hari Konvensi Ikan Paus
3 Desember Hari Cacat Internasional
5 Desember Hari Relawan Sedunia
9 Desember Hari Anti Korupsi Sedunia
9 Desember Hari Armada
10 Desember Hari Hak Asasi Manusia (HAM)
12 Desember Hari Transmigrasi
15 Desember Hari Infanteri
15 Desember Hari Cinta Puspa dan Satwa Indonesia
19 Desember Hari Bela Negara
22 Desember Hari Ibu
22 Desember Hari Sosial
22 Desember HUT Kopr Wanita Angkatan Darat (KOWAD)
25 Desember Hari Raya Natal
29 Desember Hari Keanekaragaman Hayati


Tuesday 29 December 2009

Sistem Irigasi Amburadul, Hasil Panen Turun 2


7000 Hektar Sawah Tergantung Hujan
Jombang – Ribuan hektar lahan pertanian pada 5 Kecamatan di Jombang terancam mengalami kekeringan setiap kali datang musim kemarau. Buruknya sistem pengairan diduga menjadi penyebab kekeringan yang berdampak pada turunnya hasil panen.

Padahal, sebelum tahun 1987, wilayah Kecamatan Megaluh, Kesamben, Tembelang, Peterongan dan Sumobito merupakan sentra penghasil gabah terbesar di Kabupaten Jombang. Namun, saat ini kondisi tersebut tak mampu diraih karena seringnya terjadi kekurangan air saat musim kemarau.

Ketua Induk Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Jombang, Burhanuddin mengatakan, kondisi pengairan untuk 5 Kecamatan di wilayah Jombang cukup memprihatinkan. 7000 hektar lahan pertanian selalu terancam mengalami kekeringan saat datang musim kemarau.

Menurut Burhanuddin, sejak tahun 1997, para petani di 5 Kecamatan tersebut sebenarnya sudah merasakan krisis air bagi lahan pertanian mereka. “Sampai sekarang, kalau tidak ada hujan sawah-sawah terutama di Kecamatan Kesamben, Peterongan dan Sumobito kekeringan,” katanya, Rabu (23/12) siang.

Pada tahun 2001, petani dan pengurus HIPPA sudah mengadukan perihal krisis air irigasi bagi lahan pertanian kepada pemerintah. Namun, hingga kini belum ada penanganan serius. Kondisi ini, kata Burhanuddin, berpengaruh pada hasil panen. “Padahal, sebelum Dam di Turipinggir (Megaluh) diperbaiki pada tahun 1986, daerah kami termasuk sentra beras,” ujarnya.

Pernyataan senada dikatakan Edy Danu Puspito, petani asal Kecamatan Kesamben. Sejak tahun 1997, petani di wilayah Kesamben seringkali mengalami kesulitan untuk mengairi sawah dari saluran irigasi. Agar petani bisa terus menanam, kata Edy, petani terpaksa memanfaatkan pompa air meski harus mengeluarkan modal lebih besar.

“Bisa dibayangkan berapa kerugian petani kalau menggunakan pompa air. Untuk mengairi lahan kurang dari 1 hektar, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 300 ribu. Itupun hanya untuk beli solar saja,” ujar Edy.

Petani lainnya, Sadiri mengatakan, petani seringkali dirugikan dengan kecilnya aliran air yang sampai di Kecamatan Kesamben dan Sumobito. Ia bersama petani lain sudah beberapa kali melapor namun tidak ada tindakan serius dari Dinas Pengairan sehingga dari tahun ke tahun kondisinya tetap sama.

Sadiri pernah mencoba mengairi sawahnya dengan sumur bor. “Tapi biayanya cukup tinggi dan tidak sesuai dengan hasi panen yang didapat karena petani butuh banyak biaya,” ujarnya.

Kurangnya Pengawasan

Tidak cukupnya jatah air irigasi bagi lahan pertanian di Kecamatan Peterongan, Kesamben dan Sumobito diduga karena lemahnya pengawasan Dinas Pengairan. Banyaknya pencurian air disepanjang aliran irigasi membuat air seringkali tidak mencapai hilir.

Menurut Burhanuddin, Ketua Induk HIPPA Jombang, Tidak adanya tindakan tegas terhadap pencurian air disepanjang aliran irigasi membuat air tidak mampu mencapai hilir di Desa Podoroto Kecamatan Kesamben. “Mungkin manajemen pengairannya sudah bagus, tapi pencurian air dari daerah Kediri maupun di pintu air 30 di wilayah Kepuh Kajang (Bandar Kedungmulyo) sepertinya dibiarkan saja. Jadinya ya petani-petani dibawah yang tidak kebagian air,” ujarnya, Rabu (23/12).

Ia mengatakan, sistem continuous flow atau sistem mengairi lahan persawahan dengan cara menggelontorkan air tanpa gilir yang diterapkan sejak Senin (21/12), dinilai tidak bisa menjamin tercukupinya kebutuhan air jika tidak ada pengawasan. “Makanya, kami mendesak agar pemerintah segera memperbaiki manajemen dan mengawasi saat pembagian air bagi Jombang, serta meminta agar HIPPA-HIPPA yang sudah ada dibina secara baik dan tidak dibiarkan begitu saja,” kata Burhanuddin.

Hudi, petani asal Desa Pojok Kulon mengaku sering melakukan pengecekan kondisi air dan ditemukan banyak penyimpangan. Beberapa pintu air yang seharusnya ditutup justru dibiarkan tetap terbuka. Menurutnya, persoalan air tersebut sudah terjadi sejak tahun 1999.

“Tapi saat ada protes pada tahun 2002, sistem pengairan sempat diperbaiki dan petani tidak mengeluhkan air. Tapi setelah itu, kondisi kembali sulit dan tidak ada respon sama sekali dari pemerintah meski sering ada pelaporan,” ujarnya.

Hudi mengaku heran dengan kondisi yang terjadi sejak tahun 2002 lalu. Kesulitan air bagi lahan pertanian tetap terjadi meski sudah sering melapor. “Biasanya Dinas mengaku tandon air yang ada di Dam Solodono airnya tida mencukupi tapi kenapa pada tahun 2002 dulu bisa memenuhi,” katanya.

Mantan pengurus Forum Musyawarah Petani Jombang (FMPJ), Muhammad Subhan mengatakan, keluhan petani di Kecamatan Kesamben, Sumobito dan Peterongan terhadap kesulitan air seringkali hanya berujung dengan janji-janji. “Alasan Dam Solodono tidak cukup air itu merupakan lagu lama dan Dinas harus mengakui bahwa perbaikan managemen yang dijanjikan dulu gagal,” kritik pria yang kini aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama Jombang ini. (Ms/Whb/Er)

Sunday 20 December 2009

Kekeringan, Petani Kesamben Tunda Masa Tanam


Jombang – Ribuan hektar lahan pertanian di Kecamatan Kesamben, Jombang mengalami kekeringan. Petani setempat memilih menunda masa tanam karena minimnya debit air yang mampu mencukupi kebutuhan pertumbuhan tanaman.

Petani khawatir bakal merugi jika tetap memaksakan diri untuk menanami lahannya dengan tanaman pertanian. Menurut petani, benih yang sempat ditabur pada lahan yang kekurangan air tersebut akhirnya layu dan tidak bisa berkembang.

Ponisan, ketua Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Desa Jombatan, Kecamatan Kesamben mengatakan, kekeringan lahan pertanian di wilayahnya disebabkan oleh tidak baiknya sistem pembagian air. Jatah 18 kubik air yang seharusnya menjadi milik petani di Dusun Sapon, Tambakrejo dan Candi Desa Jombatan tidak pernah sampai ke tempat mereka.

“Hingga hari ini masih kekeringan. (kami) Tidak mendapatkan giliran sampai empat kali. Padahal, air itu seharusnya 18 kubik, tapi kenapa kok tidak sampai sini? Itu berarti dinas pengairan tidak adil, seumpama adil walaupun kecil pasti sampai,” ujar Ponisan, Kamis (17/12) siang.

Sekitar 500 hektar sawah di Desa Pojok Kulon, Kesamben mengalami kondisi serupa. Peristiwa kekeringan lahan saat musim kemarau di Desa tersebut bahkan terjadi sejak tahun 1997 lalu.

Menurut Ikhsan, ketua HIPPA Desa Pojok kulon, meski sudah pernah melaporkan kurangnya pasokan air bagi lahan pertanian di wilayahnya, namun hingga kini air tidak menyentuh lahan persawahan milik HIPPA Pojok kulon. “Persoalan (air) ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 90-an,” katanya.

Ihksan berharap pengaturan pembagian air agar lebih memperhatikan kebutuhan petani. Menurutnya, jika debit air bagi lahan pertanian tidak mencukupi, petani akan kesulitan untuk mengembangkan pertanian.

Sementara itu, kekeringan lahan juga melanda 200 hektar lahan persawahan di Dusun Sambigelar, Desa Pojok Kulon dan Desa Podoroto, Kesamben sebanyak 600 hektar. Beberapa waktu lalu, petani Desa Podoroto bahkan sempat melakukan protes dengan menanami saluran irigasi untuk lahan pertanian mereka dengan tanaman pisang.

Kurangnya Kepedulian Pemerintah
Kepentingan industri disinyalir menjadi penyebab berkurangnya jatah air bagi petani. “Kalau dulu, air itu nomor satu bagi petani. Tapi sekarang itu dinomor empatkan. Kalah dengan industri,” kata Nawun, petugas HIPPA Sambigelar.

Menurut Nawun, kepedulian pemerintah terhadap petani masih rendah. Kebutuhan petani akan air kurang diperhatikan karena pemerintah lebih mengutamakan kepentingan industri.

Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU Jombang, Muhammad Subhan mengatakan, kekeringan ribuan hektar lahan pertanian di wilayah Kecamatan Kesamben dan sekitarnya sebenarnya sudah dilaporkan pada tahun 2001 lalu. Namun, keluhan dari 3000-an petani di wilayah Kesamben hingga kini belum mendapat tanggapan menggemberikan.

Menurut pria yang dulu pernah aktif dalam Forum Musyawarah Petani Jombang (FMPJ) ini, keinginan petani agar pemerintah melakukan penyudetan terhadap Dam Jati Mlerek untuk memenuhi kebutuhan air bagi pertanian tak pernah mendapat tanggapan. “Alasannya macam-macam. Salah satunya, kalau debit air sungai brantas berkurang karena disudet untuk kepentingan petani, maka ada perusahaan yang selama ini memanfaatkan sungai brantas akan rugi,” ujar Subhan.

Dia berharap, realitas kekeringan lahan yang dihadapi petani bisa direspon oleh pemerintah dengan memenuhi dan mengatur kebutuhan air bagi pertanian secara adil. (Ms/Er)

Friday 11 December 2009

Petani Sesalkan Amburadulnya Sistem Irigasi



Jombang – Buruknya sistem irigasi di Kabupaten Jombang dikeluhkan petani. Sistem pembagian air yang buruk membuat petani asal Kecamatan Kesamben, Tembelang, Sumobito dan sekitarnya sering dirugikan.

Kepala Dusun Sambigelar, Desa Pojok Kulon, Kesamben, Hudi mengatakan, petani di daerahnya sering menjadi korban atas buruknya sistem pengairan. Sistem irigasi yang buruk membuat petani setempat menunda masa tanam.

Berdasarkan penyelidikan petani setempat, buruknya sistem pengairan diketahui karena beberapa Dam irigasi yang seharusnya ditutup pada saat jatah air untuk wilayah Kesamben, namun Dam tersebut justru dibiarkan terbuka. Hal itu menyebabkan lahan pertanian di daerah Kesamben dan sekitarnya tidak kebagian air. “Gara-gara ini saya harus menunda masa tanam, karena lahan saya terlalu kering. Seharusnya saya menyebar bibit sjak desember awal,” kata Hudi, Rabu (9/12).

Hal senada diungkapkan Imam Setiobudi, Petani asal Dusun Pulorejo, Tembelang. Ia mengaku jengkel karena buruknya sistem irigasi yang merugikan petani terus menerus terjadi sejak tahun 2002 lalu dan hingga kini belum ada perbaikan.

Imam Setiobudi mengatakan, saat musim kering, lahan pertaniannya tidak bisa mendapatkan jatah air yang cukup pengairan lahan pertanian. Namun, kondisi itu berubah saat musim hujan tiba. Lahan pertaniannya menjadi kebanjiran air karena air dari Dam irigasi pusat tidak dibendung dan langsung digelontorkan kebawah. “Saya sudah pernah lapor ke Dinas Pengairan katanya mereka masih memperbaiki sistem manajemen, tapi kenyataannya samapi sekarang masih seperti ini sistemnya,” keluhnya.

Sementara itu, M. Subhan, Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdatul Ulama (LP2NU) Jombang mengatakan, persoalan irigasi merupakan masalah lama tidak kunjung ada penyelesaian dari Pemerintah Kabupaten Jombang.

Menurut Subhan, buruknya sistem irigasi sebenarnya pernah dilaporkan petani kepada Dinas Pengairan Kabupaten Jombang. Namun, dari laporan dan protes yang dilakukan petani pada tahun 2002 lalu, hingga kini belum ada perkembangan positif. “Perbaikan manajemen yang telah dijanjikan oleh Pemerintah kabupaten Jomabang khusunya Dinas Pengairan gagal total,” ujarnya.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jombang, Suhardy mengatakan, sistem irigasi untuk lahan pertanian diluar kewenangannya. “Itu diluar tanggung jawab kami, kewenangan kami adalah ketika air sudah berada di dalam lahan,” katanya saat dihubungi via phone.

Sementara, Kepala Seksi Operasional, Dinas Pengairan Jombang, Sutrisno, mengakui sistem pengairan untuk pertanian pada beberapa wilayah di Jombang masih butuh pembenahan. Tidak meratanya pembagian air kepada petani, kata Sutrisno, tak lepas dari ulah petani yang sering melakukan pencurian air dengan membuat saluran air sendiri.

“Untuk manajemen pengairan kita sudah berusaha memperbaiki. Tetapi jika sampai hari ini sistemnya masih dianggap buruk, itu diluar kemampuan kami. Kami sudah berusaha membagi (air) secara adil, tetapi masih ada petani yang memilih membuat saluran air sendiri,” ujarnya. (Er)

Wednesday 2 December 2009

Ujang, Anak Kemarin Sore dan Pertanian Organik



Petani konvensional di tanah Sunda umumnya mengenal falsafah ”kadenge, kadeuleu, karampa, karasa” atau mendengar, melihat, meraba, dan merasakan. Bagi Ujang Ahmad Zaenal Muttaqin, falsafah yang dianut oleh para petani tradisional tersebut menjadi hambatan serius ketika dia ingin mengajak mereka untuk bertani organik.

Para petani konvensional harus mendengar, melihat, dan meraba dulu baru mereka percaya terhadap teknologi baru dalam bertani. Susahnya minta ampun untuk meyakinkan petani konvensional bahwa bertani organik dengan cara budidaya baru itu merupakan cara terbaik guna meningkatkan kesejahteraan mereka,” kata Ujang, ayah dua anak ini.

Kegelisahan Ujang terhadap nasib petani di desanya, Jambenenenggang, Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mulai muncul sekitar akhir tahun 2000. Ketika itu Ujang baru kembali dari Jepang, setelah bekerja di sebuah pabrik sejak tahun 1997.

Ketika di Jepang, setiap akhir pekan Ujang menyempatkan diri magang di sebuah sentra pertanian. Ini bisa dia lakukan dengan rekomendasi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi. Di sini dia melihat pertanian yang sudah sistematis dikerjakan mesin. Petani di Jepang hanya menjadi operator sejak membajak sawah, menyemai, menanam, hingga memanen. ”Produktivitas lahan mereka tinggi, mencapai 11 ton per hektar waktu itu,” ceritanya.

Pulang ke Indonesia, Ujang membuang mimpinya untuk melihat petani di kampungnya mengoperasikan mesin di sawah. Namun, muncul keyakinannya bahwa petani bisa meningkatkan taraf hidup jika mereka mau. ”Dari teknologi, jelas kita ketinggalan (dari Jepang). Tapi, kalau petani mau mengubah pola bertaninya, saya yakin mereka bisa meningkatkan taraf hidup,” kata Ujang.

Petani miskin

Lulusan Madrasah Aliyah Negeri Syamsul Ullum Sukabumi itu mendapati petani di sekitarnya sebagai petani miskin yang penghasilannya amat kecil. ”Di lahan seluas 1 hektar, petani penyewa hanya mendapat pemasukan sebesar Rp 2 juta selama satu musim, atau sekitar Rp 500.000 per bulan,” kata Ujang.

Penghasilan itu dihitung dari ongkos produksi, mulai dari pupuk dan pengolahan lahan sebesar Rp 2,2 juta per hektar serta sewa lahan Rp 7 juta per hektar per musim.

Hasil panen mereka hanya 5,6 ton per hektar dan dijual dengan harga Rp 2.000 per kilogram. Dengan demikian, panen semusim hanya memberi hasil Rp 11,2 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi dan sewa lahan, petani hanya memperoleh Rp 2 juta per musim. ”Kami mengenal istilah, petani hanya timbul daki setelah bertani karena mereka memang tidak mendapat apa-apa,” kata Ujang.

Dengan falsafah yang dianut oleh para petani konvensional itu, dia harus memulai lebih dulu bagaimana bertani organik dan budidaya yang baik hingga bisa memberikan keuntungan.

Ketika memulai cara bertani organik, banyak petani konvensional yang mencemooh Ujang. Apalagi, dia masih termasuk ”anak kemarin sore” di kampung Kebonpedes. ”Banyak petani yang mengatakan bahwa mereka lebih dulu bertani daripada saya, jadi tentunya merasa lebih tahu. Saya diam saja, tetapi tetap yakin ketika melihat hasilnya, mereka akan percaya,” katanya.

Ujang kemudian memulainya dengan mengganti pupuk pabrik dengan pupuk kompos dari tumbuh-tumbuhan hijau dan granole (pupuk dari kotoran hewan yang dicampur dengan dekomposer). Ujang memerlukan waktu tiga musim untuk mengakhiri penggunaan pupuk pabrik karena kondisi tanah belum terbiasa.

Dia memproduksi sendiri granole dengan maksud agar tak bergantung pada pihak mana pun. Dia mendapatkan kotoran hewan dari warga yang beternak sapi dan para tetangga yang memiliki kambing dan ayam.

Apabila menggunakan kompos, sawah seluas 1 hektar memerlukan sekitar 5-7 ton. Adapun dengan granole, sawah luas yang sama hanya memerlukan 500 kilogram sampai 1 ton. Kebutuhan ini tergantung dari kondisi keasaman tanah.

Beralih ke organik

Selain beralih ke pertanian organik, Ujang juga memulai budidaya bertani yang baru, yakni dengan mengurangi penggunaan benih padi.

”Petani konvensional biasanya menggunakan hingga delapan bibit dalam satu lubang. Ketika tumbuh, maksimal hanya 18 anakan yang jadi karena bibit sulit tumbuh,” katanya.

Adapun cara yang dilakukan Ujang adalah dengan menggunakan satu-dua bibit saja per lubang. Ternyata setelah tumbuh, tanaman itu bisa menghasilkan 25 anakan per lubang.

Dengan cara itu, dia hanya memerlukan paling banyak 8 kilogram benih per hektar. Bandingkan dengan petani konvensional yang memerlukan benih sampai 35 kilogram per hektar.

Masih belum puas, Ujang berusaha menambah pengetahuan bertaninya dengan mengikuti Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT) di Kebonpedes. Terbukti, Ujang bisa mendongkrak produktivitas tanaman padinya menjadi 8 ton lebih per hektar.

Adapun ongkos produksi yang diperlukan Ujang untuk mengolah 1 hektar lahan hanya Rp 2,1 juta. Ditambah sewa lahan Rp 7 juta, dia hanya menghabiskan biaya sebanyak Rp 9,1 juta. Namun, hasil panen dan harganya bisa naik signifikan.

Dengan hasil panen padi organik pada musim terakhir sebanyak 8,82 ton per hektar dan harga gabah basah Rp 2.400 per kilogram, Ujang memperoleh penghasilan Rp 21,168 juta. Jumlah itu, setelah dikurangi modal kerja, masih bersisa Rp 12,068 juta dalam semusim, atau Rp 3 juta per bulan.

Melihat keberhasilan Ujang, puluhan petani konvensional dan pemuda pengangguran di Kebonpedes mulai tertarik menekuni pertanian organik. Dalam satu musim terakhir, delapan kelompok tani setempat meminta Ujang mendampingi mereka mempraktikkan cara bertani organik. Setiap kelompok tani itu mempunyai anggota 20-25 petani.

Seiring dengan makin banyaknya petani konvensional yang menerapkan pertanian organik dan cara budidaya baru itu, Ujang yakin petani di Kebonpedes akan mandiri. ”Apa lagi yang mau dibantah? Pupuk sudah bisa kami produksi sendiri dan harga gabah padi organik juga jauh di atas harga padi nonorganik. Kalau ada kemauan, sebenarnya tidak sulit menjadi petani mandiri,” kata Ujang.

Jombang Dinilai Belum Siap Laksanakan Pertanian Organik

JOMBANG, KOMPAS.com- Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama atau Lakpesdam NU Kabupaten Jombang menilai Pemerintah Kabupaten Jombang belum siap melaksanakan konsep pertanian organik.

Penilaian disampaikan Lutfi Prasetyo Aji dari Divisi Advokasi Lakpesdam NU Jombang, Senin (20/7). Menurut dia, penyebabnya adalah paradigma soal pertanian organik belum terbangun utuh, karena masih relatif lemahnya infrastruktur seperti kemampuan penyuluh pertanian dan petani ya ng masih belum memahami secara utuh konsep pertanian organik.

Akibatbya adalah munculnya ketakutan para petani yang merisaukan soal pemasaran hasil panen padi organik yang mereka tanam. Itu misalnya terjadi di Desa Sudimoro, Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang, sejak pekan pertama bulan ini.

Tuesday 1 December 2009

Kembangkan Pertanian Organik Di Tengah Isu Kelangkaan Pupuk



Jombang – Sejumlah petani dari beberapa wilayah di Kabupaten Jombang mulai mengembangkan sistem pertanian organic. Mereka memproduksi pupuk organik serta membuat obat-obatan tanaman dari bahan alami untuk tanaman mereka.
Hal itu sebagaimana dilakukan oleh Petani Alami Watugaluh (PAW), Desa Watugaluh, Diwek Jombang, Rabu (25/11) lalu. 25 orang petani setempat secara bersama-sama membuat pestisida nabati sebagai obat-obatan bagi tanaman mereka. Sebelumnya, pada Minggu (22/11), kelompok tani tersebut juga membuat pupuk organic yang berasal dari kotoran ternak.
Kelompok tani lainnya, yakni kelompok tani Desa Palrejo, Sumobito, kelompok tani Pulorejo, Tembelang serta para petani dari Katemas, Kudu, Jombang juga melakukan serupa.
Petani berharap, kemampuan memproduksi pupuk dan pestisida organik bisa membantu mereka ditengah kelangkaan pupuk serta kemungkinan bakal naiknya Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi dipasaran. (dn)