Tuesday 29 December 2009

Sistem Irigasi Amburadul, Hasil Panen Turun 2


7000 Hektar Sawah Tergantung Hujan
Jombang – Ribuan hektar lahan pertanian pada 5 Kecamatan di Jombang terancam mengalami kekeringan setiap kali datang musim kemarau. Buruknya sistem pengairan diduga menjadi penyebab kekeringan yang berdampak pada turunnya hasil panen.

Padahal, sebelum tahun 1987, wilayah Kecamatan Megaluh, Kesamben, Tembelang, Peterongan dan Sumobito merupakan sentra penghasil gabah terbesar di Kabupaten Jombang. Namun, saat ini kondisi tersebut tak mampu diraih karena seringnya terjadi kekurangan air saat musim kemarau.

Ketua Induk Himpunan Petani Pemakai Air (HIPPA) Jombang, Burhanuddin mengatakan, kondisi pengairan untuk 5 Kecamatan di wilayah Jombang cukup memprihatinkan. 7000 hektar lahan pertanian selalu terancam mengalami kekeringan saat datang musim kemarau.

Menurut Burhanuddin, sejak tahun 1997, para petani di 5 Kecamatan tersebut sebenarnya sudah merasakan krisis air bagi lahan pertanian mereka. “Sampai sekarang, kalau tidak ada hujan sawah-sawah terutama di Kecamatan Kesamben, Peterongan dan Sumobito kekeringan,” katanya, Rabu (23/12) siang.

Pada tahun 2001, petani dan pengurus HIPPA sudah mengadukan perihal krisis air irigasi bagi lahan pertanian kepada pemerintah. Namun, hingga kini belum ada penanganan serius. Kondisi ini, kata Burhanuddin, berpengaruh pada hasil panen. “Padahal, sebelum Dam di Turipinggir (Megaluh) diperbaiki pada tahun 1986, daerah kami termasuk sentra beras,” ujarnya.

Pernyataan senada dikatakan Edy Danu Puspito, petani asal Kecamatan Kesamben. Sejak tahun 1997, petani di wilayah Kesamben seringkali mengalami kesulitan untuk mengairi sawah dari saluran irigasi. Agar petani bisa terus menanam, kata Edy, petani terpaksa memanfaatkan pompa air meski harus mengeluarkan modal lebih besar.

“Bisa dibayangkan berapa kerugian petani kalau menggunakan pompa air. Untuk mengairi lahan kurang dari 1 hektar, petani harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 300 ribu. Itupun hanya untuk beli solar saja,” ujar Edy.

Petani lainnya, Sadiri mengatakan, petani seringkali dirugikan dengan kecilnya aliran air yang sampai di Kecamatan Kesamben dan Sumobito. Ia bersama petani lain sudah beberapa kali melapor namun tidak ada tindakan serius dari Dinas Pengairan sehingga dari tahun ke tahun kondisinya tetap sama.

Sadiri pernah mencoba mengairi sawahnya dengan sumur bor. “Tapi biayanya cukup tinggi dan tidak sesuai dengan hasi panen yang didapat karena petani butuh banyak biaya,” ujarnya.

Kurangnya Pengawasan

Tidak cukupnya jatah air irigasi bagi lahan pertanian di Kecamatan Peterongan, Kesamben dan Sumobito diduga karena lemahnya pengawasan Dinas Pengairan. Banyaknya pencurian air disepanjang aliran irigasi membuat air seringkali tidak mencapai hilir.

Menurut Burhanuddin, Ketua Induk HIPPA Jombang, Tidak adanya tindakan tegas terhadap pencurian air disepanjang aliran irigasi membuat air tidak mampu mencapai hilir di Desa Podoroto Kecamatan Kesamben. “Mungkin manajemen pengairannya sudah bagus, tapi pencurian air dari daerah Kediri maupun di pintu air 30 di wilayah Kepuh Kajang (Bandar Kedungmulyo) sepertinya dibiarkan saja. Jadinya ya petani-petani dibawah yang tidak kebagian air,” ujarnya, Rabu (23/12).

Ia mengatakan, sistem continuous flow atau sistem mengairi lahan persawahan dengan cara menggelontorkan air tanpa gilir yang diterapkan sejak Senin (21/12), dinilai tidak bisa menjamin tercukupinya kebutuhan air jika tidak ada pengawasan. “Makanya, kami mendesak agar pemerintah segera memperbaiki manajemen dan mengawasi saat pembagian air bagi Jombang, serta meminta agar HIPPA-HIPPA yang sudah ada dibina secara baik dan tidak dibiarkan begitu saja,” kata Burhanuddin.

Hudi, petani asal Desa Pojok Kulon mengaku sering melakukan pengecekan kondisi air dan ditemukan banyak penyimpangan. Beberapa pintu air yang seharusnya ditutup justru dibiarkan tetap terbuka. Menurutnya, persoalan air tersebut sudah terjadi sejak tahun 1999.

“Tapi saat ada protes pada tahun 2002, sistem pengairan sempat diperbaiki dan petani tidak mengeluhkan air. Tapi setelah itu, kondisi kembali sulit dan tidak ada respon sama sekali dari pemerintah meski sering ada pelaporan,” ujarnya.

Hudi mengaku heran dengan kondisi yang terjadi sejak tahun 2002 lalu. Kesulitan air bagi lahan pertanian tetap terjadi meski sudah sering melapor. “Biasanya Dinas mengaku tandon air yang ada di Dam Solodono airnya tida mencukupi tapi kenapa pada tahun 2002 dulu bisa memenuhi,” katanya.

Mantan pengurus Forum Musyawarah Petani Jombang (FMPJ), Muhammad Subhan mengatakan, keluhan petani di Kecamatan Kesamben, Sumobito dan Peterongan terhadap kesulitan air seringkali hanya berujung dengan janji-janji. “Alasan Dam Solodono tidak cukup air itu merupakan lagu lama dan Dinas harus mengakui bahwa perbaikan managemen yang dijanjikan dulu gagal,” kritik pria yang kini aktif di Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama Jombang ini. (Ms/Whb/Er)

0 comments:

Post a Comment