Friday 9 October 2009

Sukses Bertani Dengan Sistem Organik (1)




Mendukung; Ahmad Mukroni sedang memberi makan ternak miliknya. Dari kotoran ternak yang dipeliharanya, dia bisa memenuhi kebutuhan pupuk dan pestisida organik untuk merawat tanaman di lahan persawahan yang ia miliki.



Menjawab Keraguan Tidak Mendapatkan Hasil

Pertanian organik masih dipandang sebelah mata oleh sebagian besar petani. Bertani dengan cara organik tak menjanjikan keuntungan maksimal. Namun, beberapa petani di Jombang membuktikan, bahwa mengelola lahan dengan sistem pertanian organik ternyata tidak mendatangkan kerugian.

Raut kepuasan terpancar dari wajah Ahmad Mukroni (59), petani asal Dusun Pulogedang, Desa Pulogedang, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang, Rabu (7/10) pagi. Hamparan tanaman kedelai seluas 1 hektar telah siap dipanen. Beberapa orang terlihat di areal persawahannya untuk membantu menuntaskan panen kedelainya.

“Sekarang adalah musim panen ketiga sejak saya menggunakan cara pertanian organik,” kata Mukroni. Pria yang akrab disapa Cak Mad ini menuturkan, sejak 9 bulan lalu, tepatnya awal musim tanam padi, dirinya telah bertekad untuk mengelola sawahnya dengan sistem pertanian organik.

Dengan berbekal kemampuan yang dimilikinya serta keyakinan bahwa usaha yang ia lakukan akan berhasil, Ahmad Mukroni mulai menaburi sawahnya dengan pupuk organik yang ia buat sendiri. Ribet, tidak praktis dan terlalu banyak tenaga yang harus dikerahkan. Demikian yang dirasakan olehnya saat memulai bertani dengan cara organik.

Namun, tutur Ahmad Mukroni, jika dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan dengan menggunakan pupuk buatan pabrik, biayanya masih lebih ringan. Dari perhitungan biaya produksi yang dia lakukan, biaya mengelola lahan pertanian bisa lebih rendah jika petani jeli memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia. “Kalau soal tenaga memang lebih banyak, tetapi kalau dihitung dengan menggunakan pupuk (pabrik) biayanya lebih ringan,” terang dia.

Ahmad Mukroni menyadari, keberadaan hewan ternak di rumahnya ternyata sangat membantu keinginannya untuk bertani dengan sistem organik. Dari tiga kali musim tanam, penyediaan pupuk dan pestisida yang digunakan olehnya untuk merawat tanaman berasal dari kotoran hewan ternaknya.

Semasa musim tanam padi, pria yang dikaruniai 2 putra ini menggunakan kotoran ternak yang sebelumnya telah difermentasi menjadi pupuk bokashi. “Sedangkan saat musim kedelai, obat yang saya gunakan dari kencing kambing,” tuturnya.

Bagaimana dengan hasil saat panen? Ditengah keraguan petani untuk beralih ke sistem pertanian organik, Ahmad Mukroni mengaku tak pernah merasakan hasil panennya menurun drastis. Bahkan, untuk kedelai yang panen kali menggambarkan adanya peningkatan hasil daripada panen tahun lalu. “Coba lihat saja, hasilnya khan bagus,” katanya seraya menunjuk ke arah hamparan tanaman kedelai di sawahnya yang sudah siap di panen.

Hal serupa dialami Miftahul Ilmi, petani asal Dusun Ponen, Desa Pulugedang, Tembelang. Sejak menerapkan sistem pertanian organik sejak 3 periode masa tanam, dirinya merasa tak mengalami penurunan hasil. Tanaman kedelai pada lahan persawahan miliknya seluas ¾ hektar pun siap dipanen.

Ilmi menuturkan, untuk perawatan tanaman pada musim kedelai kali ini, dia menggunakan air kencing kambing yang sebelumnya telah difermentasi menjadi pestisida organik. “Hasilnya memuaskan,” katanya. Sejak disemprot dengan pestisida organik, hama yang biasa menggerogoti tanamannya seperti hama ulat dan tikus seolah menjauh. “Salah satu kelebihan pestisida organik adalah hama seolah menjauh,” terang dia. (bersambung) (Muhammad Syafi’i)



0 comments:

Post a Comment