Monday, 19 October 2009

Hilangnya Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pertanian*


Dari sisi ekonomi, kehidupan petani semakin mengalami kemerosotan akibat dari kesenjangan antara biaya produksi dengan pendapatan yang diterima

Sarana Produksi yang semestinya disediakan sendiri oleh petani dengan biaya yang murah, akibat dari program “Revolusi Hijau “ hal ini sudah tidak terjadi lagi. Hingga sekarang dampak yang dapat dirasakan kuatnya budaya ketergantungan petani terhadap benih, pupuk dan pestisida produk pabrikan/pihak lain. Lebih parah lagi ketergantungan terhadap belas kasih pemodal maupun pemerintah untuk tetap bisa menyediakan sarana produksi yang murah disektor hulu, sementara dihilir petani berharap harga jual yang mereka terima layak dengan kerja kerasnya.

Budaya bertani yang menjunjung tinggi kemandirian dan kebersamaan dalam komunitas pertanian serta keterpaduan dan keselarasan alam sudah tidak lagi ditemukan saat ini. Para petani kita dulu dengan kearifannya mereka menyeleksi hasil panennya untuk sebagian disimpan sebagai benih, namun kegiatan penyediaan benih kini hilang akibat telah digantikan benih unggul yang diproduksi oleh pabrik benih.

Sedang untuk kebutuhan pupuk mereka memelihara ternak (rojo koyo =jawa) sebagai penyedia bahan baku pupuk. Selain untuk penyedia pupuk ternak juga dimanfaatkan tenaganya untuk mengolah lahan dan dijual untuk menambah pendapatan petani. Namun setelah pupuk yang mereka butuhkan telah disediakan oleh pabrik pupuk kini sangat sedikit petani yang memiliki ternak

Kebiasaan petani menanam tanaman pelindung seperti kelor, jagung dan sebagainya (selain tanaman pokok) dipematang atau pinggiran sawah. Tanaman pelindung ditanam dengan maksud untuk melindungi tanaman pokon dari serangan hama dan penyakit atau yang biasa disebut dengan pengendalian hama-penyakit berbasis ekologis. Namun setelah adanya pestisida yan dibuat pabrik petani tidak lagi menanam tanaman pelindung karena dipandang lebih efisien dan efektif.

Peran perempuan dalam menjaga ketahanan pangan rumah tangga tani dengan mengatur sirkulasi hasil panen melalui lumbung yang mereka buat secara individu maupun berkelompok berangsur punah digantikan dengan peran Bulog.

Harapan – harapan yang menjanjikan kehidupan lebih sejahtera membuat petani terbius untuk menanggalkan satu persatu kearifan budaya yang menjadi karakter pertanian dan wujud nyata kemandirian perekonomian petani. Dan kini telah punah dari kehidupan petani dan hanya tinggal cerita.

Bertani bukan lagi dipahami sebagai budaya hidup dalam mengelola alam dengan kata lain kelestarian alam menjamin kelangsungan hidup manusia, namun bertani dipahami sebagai kegiatan usaha menghasilkan barang/komoditas sebanyak-banyaknya. (Selesai)

Muhammad Subhan/Ketua Lembaga Pengembangan Pertanian NU Jombang

0 comments:

Post a Comment