Thursday 15 October 2009

Dilema Petani Beralih Pada Sistem Pertanian Organik


Ragu Pada Hasil Panen dan Ketersediaan

Giman (foto kiri), (foto kanan) diskusi tentang prospek pertanian organik antara petani bersama Kepala Dinas Pertanian Jombang, Suhardy (dua dari kiri), dan Ketua IPPHTI Pusat, To Suprapto (kanan).


Sebagian besar petani menggantungkan ekonominya dari keuntungan mengelola lahan pertanian hasil panen berpotensi menggoyahkan kehidupan ekonomi

Sejak beberapa tahun terakhir Pemerintah serta lembaga yang peduli pada lingkungan dan pertanian kerap menyuarakan agar petani segera mengembangkan sistem pertanian organik. Sistem pertanian tersebut diyakini mampu mengembalikan kesuburan tanah yang telah rusak akibat terkontaminasi bahan kimia, sekaligus usaha menciptakan pangan yang sehat.

Namun, tidak mudah bagi petani untuk merubah cara pengelolaan lahan pertanian. Ketakutan akan turunnya hasil pertaniaan saat panen menjadi alasan tersendiri mengapa petani enggan beralih pada sistem pertanian organik. Bagi petani, gagal panen ataupun hasil panen menurun merupakan bencana bagi ekonomi keluarga mereka. Apalagi, jika tidak ada sumber pendapatan lain yang dimiliki. “Petani sekarang itu susah mas, kalau hasil turun dan tidak dapat keuntungan, trus keluarga kita mau makan apa?” kata Giman, petani asal Desa Sambirejo, Jogoroto, Jombang.

Giman menyadari jika kondisi lahan pertanian di Indonesia mulai tidak sehat. Indikasinya, kebutuhan pupuk khususnya pupuk bersubsidi saat masa tanam padi terus bertambah. Namun apa mau dikata, sumber ekonomi keluarganya dari pertanian harus diselamatkan. Dia tidak ingin melakukan gambling dengan merubah pola dan cara tanam pada lahan pertanian yang dimiliki. “Saya tertarik dengan organik, tetapi tidak mau langsung beralih total. Perlahan-lahan supaya (hasil) panen kita tidak turun,” ujarnya.

Saat ini, Giman memang mulai menggunakan bahan-bahan organik untuk pemupukan tanamannya. Namun, prosentase pemakaiannya masih sedikit. “Pertama saya mencoba 20 persen, terus 30 persen. Tanam yang akan datang ini saya belum berani menentukan karena masih takut nanti hasilnya jelek,” tutur bapak 4 anak ini.

Setali tiga uang, Hendro, petani asal Desa Semanding, Diwek, Jombang juga menyimpan perasaan serupa. “Organik sih bagus, tetapi hasilnya (panen) nanti yang masih kita takutkan. Kalau hasilnya sedikit, petani yang rugi,” katanya.

Selain merasa gamang dengan hasil yang akan dicapai jika menerapkan sistem pertanian organik, Hendro juga mengaku tak banyak tahu tentang ketersediaan pupuk organik di Jombang. Berdasarkan pengetahuannya, ketersediaan pupuk organik sudah ada tetapi berasal dari luar daerah.

Hendro meyakini, terbatasnya ketersediaan pupuk dan pestisida organik membuat petani enggan menerapkan sistem pertanian organik. Kelangkaan dan mahalnya pupuk (kimia) bersubsidi diyakini tak akan berpengaruh pada kondisi petani jika pupuk dan pestisida organik tersedia di pasaran. “Petani itu maunya yang praktis dan gak neko-neko, kalau ada barang mereka pasti mau,” ujarnya.

Demikian pula, jika ada kepastian hasil yang maksimal saat petani menerapkan sistem pertaniaan dalam mengelola lahan pertanian, petani tidak akan segan untuk beralih menggunakan pupuk organik. “Apalagi kalau hasilnya bagus, sudah pasti (petani) mau,” pungkas pria kelahiran Jawa Tengah ini. (Muhammad Syafi’i)

0 comments:

Post a Comment