Jombang – Gerakan Revolusi Hijau bertujuan sejak tahun 1960-an bertujuan untuk mengantarkan Indonesia pada swasembada beras. Dengan bertumpu pada penggunaan teknologi Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi, serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur, Indonesia mampu menjadi Negara swasembada berasa pada tahun 1984 – 1989.
Namun, gerakan Revolusi Hijau sejak beberapa tahun lalu mulai menuai kritik. Pasalnya, gerakan tersebut tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan. karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan.
Menanggapi kenyataan ini, sejumlah petani secara perlahan mulai meninggalkan cara-cara pengelolaan pertanian ala Revolusi Hijau. Diantara petani bahkan menggunakan metode pertanian seperti yang dilakukan sebelum masa revolusi hijau.
Hudi, petani asal Dusun Sambigelar, Desa Pojok Kulon, Kecamatan Kesamben menuturkan, pada awal era pertanian Revolusi Hijau memang banyak memberikan keuntungan kepada petani. Hasil panen petani lebih meningkat serta masa tanam dan panen bisa lebih sering dilakukan.
Namun, kondisi itu mulai berubah pada tahun 90-an. Konsep pertanian yang diusung oleh Gerakan Revolusi secara perlahan memberikan dampak negatif bagi petani. Selain hilangnya kedaulatan pertanian, kualitas lahan juga terus menurun.
Hudi mengungkapkan, sekitar tahun 90-an, kondisi tanah pertanian sudah menunjukkan tanda-tanda penurunan kualitas. Hal itu ditandai dengan tanah sawah yang ambles dan berwarna hijau. Turunnya kualitas lahan pertanian berdampak pada peningkatan biaya produksi seiring dengan meningkatnya kebutuhan pupuk.
Untuk mengembalikan kesuburan tanah sawahnya, Hudi mulai menggunakan pupuk kompos untuk menyemai tanamannya. Usaha yang dilakukannya akhirnya membuahkan hasil. Biaya produksi bisa ditekan sedangkan hasil panen berangsur meningkat. “Ya (sekarang) turun biayanya dan dari tahun ke tahun itu ada peningkatan hasil panen,” tuturnya.
Menurut Hudi, saat ini kondisi petani masih lebih baik dibanding sebelumnya. “Kalau dibanding waktu revolusi hijau ya mending sekarang, sekarang itu penjualan malah bisa berhubungan langsung dengan tengkulak luar daerah jadi bisa negosiasi harga,” ujar Hudi.
Sarkawi, petani asal Kecamatan Bareng menuturkan, pada tahun 50-an, era sebelum revolusi hijau, kondisi tanah sangat subur. Meskipun tidak diberi asupan pupuk, namun tanaman bisa tumbuh dengan baik. “Hasil tanaman juga enak.” Jelas dia.
Sarkawi menambahkan, penurunan kualitas lahan pertanian mulai dia rasakan pada tahun 80-an. Hal itu ditandai dengan maraknya penggunaan pupuk buatan pabrik dan bibit yang dibeli dari toko. “Kalau dulu mau nanam ya nanam aja. Tidak usah pakai apa-apa ya (tetap) baik,” kata pria yang kini hanya bisa menjadi buruh tani karena sudah kehilangan lahan.
Baik Sarkawi dan Hudi, sepakat jika pengelolaan pertanian harus memperhatikan kondisi ekosistem agar kualitas lahan pertanian tidak terus mengalami penurunan.
0 comments:
Post a Comment