Tekan Resiko Bencana, Perlu Kerjasama Semua Kalangan
Diukur dari tingkat exposure, kerapuhan, ketidaktahanan dan bahaya, Desa Jarak Kecamatan Wonosalam san Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung memiliki resiko bencana yang cukup tinggi. Keterlibatan multi stakeholder diyakini mampu meminimalisir ancaman banjir dan tanah longsor.
Demikian benang merah workshop Hasil Penilaian Resiko Bencana (risk assessment) di Desa Jarak dan Desa Kademangan yang diselenggarakan di Homestay Cempaka Mas Jombang, Selasa (25/5). Temuan itu berdasarkan hasil riset tim Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-NU) Jombang di dua Desa tersebut selama 2 bulan.
Menurut Muhammad Subhan, anggota tim peneliti risk assessment di Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung mengatakan, untuk meminimalisir ancaman banjir perlu dilakukan upaya stategis berkelanjutan dengan melakukan penghijauan pada lahan peyangga serta perbaikan sistem tata air. Disamping itu upaya taktis dengan melakukan pengerukan sedimentasi dan pembuatan plengsengan di sungai penghubung juga perlu dilakukan.
Namun, kata Subhan, upaya-upaya tersebut tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, tetapi harus melibatkan semua pihak. “Untuk meminimalisir ancaman banjir perlu dibentuk tim advokasi multi stakeholder,” ujarnya.
Pernyataan senada dikatakan Zainul Arif, anggota tim peneliti risk assessment di Desa Jarak Kecamatan Wonosalam. “Dengan resiko bencana yang cukup tinggi, maka perlu ada upaya peningkatan pengetahuan warga tentang pengusaan teknik pertanian organik berwawasan konservasi lingkungan. Tentunya, upaya ini harus dilakukan secara bersama-sama antar seluruh stakeholder yang terkait,” katanya.
Ketua Lakpesdam NU Jombang, Muhammad Hasyim mengatakan, melihat problem yang dihadapi masyarakat Desa Jarak dan Kademangan berdasarkan hasil penilaian resiko bencana memang diperlukan kerjasama semua pihak. “Dilihat dari konteks masalah, sebenarnya ini bukan semata soal cuaca. Disitu ada masalah lingkungan, hutan, pengelolaan air dan fasilitas jalan yang harus ditangani bersama,” ujarnya, Kamis (25/5) siang.
Dia menyebutkan, selain masyarakat beserta multi stakeholder lainnya, peran Perhutani sebagai pemangku hutan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan serta PDAM sebagai pihak yang memanfaatkan sumber dari pegunungan Anjasmoro sangat penting untuk meminimalisir resiko bencana di wilayah Jarak hingga daerah Mojoagung.
Sementara itu, Arifah Anas, Manajer program Lakpesdam NU Jombang mengaku masih menyimpan kegalauan atas upaya penanganan resiko bencana di daerah Jarak Wonosalam. Berdasarkan hasil risk assessment di Desa Jarak, salah satu solusi penting untuk menekan resiko bencana di daerah pegunungan Anjasmoro adalah melakukan konservasi lingkungan.
Namun, menurut Arifah, rekomendasi tersebut akan sia-sia jika pihak yang terkait langsung tidak terlibat. “Konservasi lingkungan itu terkait erat dengan Perhutani serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Jadi, kalau mereka tidak terlibat upaya itu akan sulit terlaksana,” katanya.
Arifah mengatakan, dalam workshop Hasil Penilaian Resiko Bencana yang dihadiri sejumlah SKPD Jombang serta masyarakat Desa Jarak dan Kademangan, Selasa (25/5) lalu, pihaknya sebenarnya berharap ada masukan berharga dari Perhutani serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
“Ada banyak masukan dari beberapa Dinas serta masyarakat yang hadir saat workshop kemarin. Tetapi, masukan-masukan itu menjadi kurang lengkap karena instansi yang terlibat dalam masalah hutan dan perkebunan tidak hadir,” ujarnya.
Meski demikian, pihaknya akan segera melakukan koordinasi dengan Perhutani serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk menemukan solusi bersama berdasarkan hasil penilaian resiko bencana di Desa Jarak Kecamatan Wonosalam dan Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung. (Ms)
Perwakilan Dinas Pertanian Kabupaten Jombang menyampaikan tanggapan Hasil Penilaian Bencana di Desa Kademangan, Mojoagung dan Desa Jarak, Wonosalam, di Cempaka Mas Jombang, Selasa (26/5) lalu.
Catatan Dari Workshop Hasil Penilaian Resiko Bencana di Jombang (2)
Desa Kademangan Perlu Perbaikan Sistem Tata Air
Setiap tahun, banjir di Desa Kademangan Kecamatan Mojoagung selalu menggenangi perkampungan warga. Keterlibatan multi stakeholder diharapkan mampu menekan ancaman bahaya banjir Di Desa tersebut.
Berdasarkan fakta sejarah kebencanaan, Desa Kademangan, Mojoagung berulangkali mengalami bencana alam khususnya banjir. Dalam waktu 1 tahun banjir yang terjadi mencapai 6 sampai 12 kali dengan besaran yang bervariatif. Banjir paling besar terjadi pada tahun 1985, 1991, 2007 dan tahun 2008.
Menurut Muhammad Subhan, anggota tim peneliti Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-NU) Jombang untuk melakukan penilaian resiko bencana di Desa Kademangan, banjir yang kerap melanda Desa Kademangan tidak lepas dari kondisi Desa. Secara topografi, Desa Kademangan merupakan desa yang rendah dan berpemukaan mangkok sehingga menjadi langganan banjir tahunan.
Sistem Perekonomian Sakit, Rakyat Harus Bangkit
Jombang – Sistem ekonomi kerakyatan di Indonesai sedang sakit. Untuk menciptakan sistem ekonomi yang sehat dan mampu mengangkat rakyat dari keterpurukan ekonomi, masyarakat perlu mengembangkan sistem yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan rakyat kecil.
Demikian dikatakan KH. Sholahuddin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Rabu (26/5) malam. Menurut Gus Sholah, untuk membangun sebuah sistem perekonomian yang baik harus dimulai dengan semangat yang jujur dan bisa dipercaya.
Saat ini, kata Gus Sholah, sulit dijumpai lembaga keuangan atau perbankan yang betul-betul memperhatikan keuntungan bagi nasabah atau anggotanya. “Terkesan cukup sulit memang untuk memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, namun itu bukan berarti tidak bisa dilakukan,” ujarnya saat diskusi public bertajuk Ekonomi Kerakyatan di halaman kantor Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Jombang.
Menurut Gus Sholah, untuk membangun perekonomian yang bisa mengentaskan rakyat dari keterpurukan, rakyat harus bangkit dengan mengandalkan diri sendiri. “Kalau perekonomian negara sudah sakit rakyat harus bangkit sendiri karena negara memang sudah tidak bisa diharapkan,” katanya.
Kacung Marijan, Ketua PW Lakpesdam NU Jawa Timur mengatakan, selama ini pemerintah menyuntikkan dana kepada lembaga keuangan rakyat dalam bentuk pinjaman. Namun pinjaman itu diformat seolah-olah itu adalah pertolongan dari negara kepada rakyat. “Sehingga aspek pendidikannya diabaikan. Akibatnya ya tidak sedikit lembaga keuangan rakyat yang akhirnya ambruk dan modal pun kembali menjadi milik pemerintah, sementara rakyat tidak dapat apa-apa,” kritiknya lugas.
Kacung mengatakan, membangun lembaga keuangan yang berbasis kerakyatan yang baik adalah jika modal diperoleh dari rakyat itu sendiri dan keuntungannya juga diperuntukkan bagi rakyat. “Dari yang saya amati itu, membangun ekonomi rakyat ya harus dimulai dengan modal rakyat yang nantinya digunakan sendiri oleh rakyat itu sendiri, jadi sangsi atas pelanggaran juga untuk diri sendiri,” tuturnya.
Ungkapan senada disampaikan Francis Wahono, Direktur Yayasan Cindelaras Paritrana Yogyakarta. Dia bahkan menawarkan Credit Union (CU) sebagai alternatif untuk membangun perekonomian.
Menurut Wahono, selama ini rakyat Indonesia menjadi miskin karena beberapa faktor. “Satu, tidak disediakannya lapangan pekerjaan yang layak, dua tidak pernah menyisihkan sedikit uang untuk menabung. Seperti itulah problemnya sehingga rakyat Indonesia tetap miskin,” katanya.
Wahono menjelaskan, sebagai media membangun ekonomi rakyat, Credit Union (CU) merupakan alternatif sederhana dan cocok. Karena dalam prakteknya, CU tidak mengutamakan pemodal besar. “CU itu tidak mengutamakan pemodal besar. Kalau ada yang punya banyak uang ya harus berlagak menjadi pemodal kecil. Ikuti aturan rakyat mengumpulkan sedikit demi sedikit lalu dipinjam sendiri.” (Ms/Er)